Senin, 28 Mei 2012

02. Spiritualitas Perkawinan

Tulisan berikut saya copas dari tulisan Rm. St. Sumardiyo Adipranoto, Pr (Keuskupan Bogor)


SPIRITUALITAS  PERKAWINAN  MENDASARI

PEMBANGUNAN  KELUARGA  KRISTIANI

( Ef 5:22-33 )

1. Spiritualitas

Spiritualitas itu merupakan kata yang berasal dari bahasa Latin, “spiritus” (spirit) yang berarti “roh”. Spiritualitas itu maksudnya suatu dinamika, semangat, corak hidup spiritual, yaitu usaha yang terus-menerus untuk mencari dan menjalani suatu pola hidup yang khas. Hidup spiritualitas itu biasanya berakar dalam hidup beriman yang dibagikan, maka spiritualitas ini memerlukan suatu komunitas, atau suatu persekutuan hidup. Dan komunitas atau persekutuan hidup ini berpusat pada perjumpaan dengan Yang Ilahi, pertemuan dengan Tuhan dalam sharing iman atau saling membagi pengalaman rohani. Itulah kehidupan yang diwarnai dengan hidup spiritual. Pada intinya, spiritualitas itu sama untuk setiap pribadi, yaitu: menjadikan diri sebagai pribadi beriman, dengan hidup bersama dalam jalan dan rencana Tuhan, agar dapat menjalankan corak hidup rohani atau hidup spiritual yang khas dalam kehidupan sehari-hari.

2. Perkawinan atau Pernikahan

Pada umumnya perkawinan itu merupakan perpaduan bukan pemisahan. Perpaduan apa? Perpaduan dua pribadi: pria dan wanita, yang masing-masing membawa-serta keunikan, watak dan sifat yang tidak sama, namun mereka dipanggil untuk hidup menyatu dan membentuk “communio”, yang hidup saling mencintai dan diutus untuk hidup saling melengkapi, menguduskan serta menyelamatkan. Apa itu mungkin? Mengapa tidak? Apakah dasarnya? Asalkan kedua pribadi, pria dan wanita itu ada kesepakatan atau konsensus dan mendasarkan niatnya dengan spiritualitas hidup saling mencintai! Karena itu konsep alkitabiah mengenai perkawinan atau pernikahan: “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (Kej 2:24). Kemudian dalam perjanjian baru, Rasul Paulus menegaskan kembali: “Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging” (Ef 5:31).

Sedangkan perkawinan atau pernikahan Kristiani yang bersifat sakramental melibatkan lebih dari dua pribadi, pria dan wanita. Sebagai anggota Pasamuan Suci atau Gereja Kudus Tuhan Yesus Kristus, maka di dalam perkawinan Kristiani dihadirkan juga di dalamnya Pribadi ketiga, yaitu Yesus Kristus. Dialah yang akan memberi makna, membimbing, mempersatukan dan mengarahkan ralasi dan hidup suami-istri Kristiani. Perkawinan mereka itu diangkat ke martabat Sakramental. Sakramen itulah yang menjadikan tanda dan bukti kehadiran Tuhan. Karenanya dalam perkawinan Kristiani, tanda dan bukti kehadiran Tuhan Yesus yang mencintai Umat-Nya itu diwujud-nyatakan secara khusus, bukan dengan benda, melainkan dua pribadi, pria dan wanita yang saling mencintai. Maka dari itu, perkawinan Kristiani selayaknya berlangsung dalam Liturgi Sakramen Perkawinan.

3. Liturgi Sakramen Perkawinan

Dalam liturgi sakramen perkawinan itu kedua pengantin akan mengucapkan janji prasetia (sumpah), yaitu perjanjian yang dibuat di hadapan Allah, imam dan para saksi serta disaksikan juga oleh umat Allah yang hadir. Mereka itu “dipersatukan oleh Allah” karena mendasari dengan cinta, saling menerimakan sakramen perkawinan, maka Allah menetapkan manusia-pria untuk menjadi tanda cinta-Nya bagi sang istri; dan Allah mengangkat manusia-wanita untuk menjadi tanda cinta-Nya bagi sang suami. Jaminan semacam inilah yang akan membuat mereka saling bertahan; bukan karena kekuatan hukum atau takut akan sanksi jika melanggar, melainkan karena perjanjian, kesepakatan atau konsensus dari dua pribadi yang dilalakukannya di hadapan Allah itu, tanpa syarat.

4. Konsekuensi bagi Suami-Istri

Suami-istri menjadi tanda kehadiran kasih Allah satu sama lain. Mereka berdua pada hakikatnya menjadi satu. Lambang dan perwujudan kasih setia Yesus Kristus kepada Gereja-Nya (bdk. Ef 5:24-28). Mereka itu membentuk keluarga, yaitu persekutuan hidup antara pria dan wanita yang membentuk komunitas antar pribadi berdasarkan cintakasih dan konsensus. Konsekuensinya, persekutuan hidup perkawinan itu menyatukan pria dan wanita dalam kesatuan lahir dan batin, dan mencakup aspek hidup raga, jiwa dan spiritual. Inilah komitmen yang mereka bangun berdasarkan kebebasan. Hal inilah yang memungkinkan pria dan wanita dapat saling menerima dan memperkaya satu sama lain.

Hidup suami-istri Kristiani yang mendasarkan persekutuan hidupnya dalam sakramen baptis dipanggil dan diutus untuk mengambil bagian dalam Tritugas Yesus Kristus, yaitu semakin didorong untuk menampilkan diri sebagai Nabi (mengajar, mewartakan, memberikan kesaksian); Imam (saling menguduskan jiwa, mendekatkan hati dan hidupnya kepada Tuhan); dan Raja (saling melayani dan mengabdikan diri kedalam dan keluar dari pasangannya).

Bagaimana kita mesti mewujudkan dan mengembangkan spiritualitas perkawinan dalam persekutuan kasih saumi-istri? Pasutri dipanggil dan diutus  menyatakan bagaimana Yesus mencintai Gereja-Nya: hidup bergembira, saling menyukai satu sama lain, saling merawat kesetiaan, saling mengampuni, saling menjadikan dirinya pendengar yang baik, saling memberikan pertolongan yang menyelamatkan dan menguduskan satu sama lain, agar dapat menemukan jadi diri mereka dalam satu sama lain.
5. Keluarga Dibangun Atas Dasar Saling Mecintai

Keluarga, didasarkan pada perkawinan, merupakan suatu persekutuan hidup dan cinta kasih (suatu persekutuan ‘seluruh hidup’ menurut Hukum Gereja, Kitab Hukum Kanonik can. 1055), mempunyai ‘elemen yang tidak dapat dihilangkan’ yang ‘membuat perkawinan’, yakni pertukaran konsensus atau kesepakatan ‘nikah’, dan memberntuk suatu persekutuan seluruh hidup (bdk. KGK no.1601), merupakan pemberian diri di dalam Tuhan dan melalui Tuhan.  Pemberian diri yang diungkapkan dalam konsensus itu bersifat “pribadi dan tidak dapat ditarik kembali” yang membentuk perjanjian perkawinan, memuat semangat dan kualitas untuk saling ‘memberikan diri’ secara total dan definitif (KGK 2364). Pemberian diri secara total membawa pada kebutuhan akan makna dan arti kesetiaan suami-istri. Hal ini merupakan bentuk konkret pemberian diri dan hidup yang melibatkan dan membebaskan. Cinta kasih yang mendasari dan menjadi sumber hidup persekutuannya itu mengkondisikan orang tidak merasa takut dan kuatir akan pasangannya; dan tidak akan secara bebas satu sama lain mengkhianati makna dan arti persekutuannya itu. 

Dalam Kejadian 2:24 ditekankan: “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.”  Sikap “saling memberikan dirinya”, pasangan suami-istri, “menjadi ‘una caro’, satu daging”, yaitu merupakan suatu “communio personarum” (persekutuan pribadi-pribadi) dalam kesatuan hidup jiwa, raga dan rohani. Mereka saling memberikan diri dengan daya kekuatan jiwa, raga dan rohani melalui dan dalam cinta kasih di mana seks dialami dan dihayati sebagai suatu bahasa yang mengungkapkan ‘pemberian diri’.

Sebagaimana dikatakan Paus Yohanes Paulus II dalam seruan apostolik “Familiaris Cosortio”, atau ensikliknya, bahwa seks adalah suatu sarana dan tanda pemberian diri timbal-balik. “Oleh karena itu seksualitas, yang bagi pria maupun wanita merupakan upaya atau sarana untuk saling menyerahkan diri melalui tindakan yang khas dan eksklusif bagi suami-istri, sama sekali tidak melulu bersifat biologis, tetapi menyangkut kenyataan pribadi manusiawi juga. Seksualitas itu hanya diwujudkan secara sungguh manusiawi, apabila merupakan unsur integral dalam cinta kasih suami-istri, yang saling menyerahkan diri sepenuhnya seumur hidup (FC 11).

Kemudian Katekismus Gereja Katolik mengajarkan: “Gereja memandang kesepakatan pria dan wanita sebagai unsur yang mutlak perlu untuk perjanjian perkawinan. Sebab, kalau kesepakatan tidak ada, perkawinan tidak jadi (KGK no.1626). Lantas pada KGK no.1627 dikatakan: “Kesepakatan itu merupakan ‘tindakan manusiawi’, yakni saling menyerahkan diri dan saling menerima antara suami dan istri” (GS 48,1; bdk. KHK no. 1057 $2). Saling diucapkan oleh mempelai pria: “Saya menerima engkau sebagai istri saya.”; demikian mempelai wanita itu mengatakan: “Saya menerima engkau sebagai suami saya.”  Kesepakatan yang memikat para mempelai satu sama lain itu diwujudkan demikian, bahwa ‘keduanya menjadi satu daging’. (Kej 2:24; Mrk 10:8; Ef 5:31).

6. Anak itu Merupakan Karunia Perkawinan

Santo Agustinus pernah mengajarkan: “Di antara kebaikan (harta kekayaan) perkawinan, keturunan mendapat tempat yang utama. Kitab Kejadian juga mengungkapkan, Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranak-cuculah dan bertambah banyak” (Kej 1:28). “Menurut kodratnya lembaga perkawinan dan cinta suami-istri terarah pada kelahiran, atau keturunan dan pendidikan, dan sebagai puncaknya bagaikan dimahkotai olehnya” (Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes tentang Gereja dalam Dunia Modern 48,1).
“Memang anak-anak merupakan karunia perkawinan yang paling luhur, dan besar sekali artinya bagi kesejahteraan orangtua. Allah sendiri bersabda: ‘Tidak baiklah manusia hidup seorang diri’ (Kej 2:18); dan lagi: ‘Dia … yang sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan’ (Mat 19:4), Ia bermaksud mengijinkan manusia, untuk secara khusus ikut serta dalam karya penciptaan-Nya sendiri, dan memberkati pria maupun wanita sambil berfirman: ‘Beranak-cuculah dan bertambah banyaklah!’ (Kej 1:28). Oleh karena itu pengembangan kasih suami-istri yang sejati, begitu pula seluruh tata hidup berkeluarga yang bertumpu padanya, tanpa memandang kalah penting tujuan-tujuan lain dari perkawinan; bertujuan supaya suami-istri bersedia untuk penuh keberanian bekerja sama dengan semangat cinta kasih Sang Pencipta dan Penyelamat, yang melalui pasangan suami-istri makin memperluas dan memperkaya keluarga-Nya” (GS 5,1).

Kesuburan cinta kasih suami-istri nampak pula di dalam buah-buah kehidupan moral dan rohani,  yang orangtua lanjutkan kepada anak-anaknya melalui pendidikan. Orangtua adalah pendidik yang pertama dan terpenting (Pernyataan Konsili “Gravissimum Educationis” tentang Pendidikan Kristen 3). Dalam arti ini, bahwa tugas mendasar dari perkawinan dan keluarga terletak dalam pengabdian kehidupan (bdk. FC 28).

Dalam keluarga, ‘kenisah kehidupan’, Ensiklik Evangelium Vitae menunjukkan bahwa di lingkungan umat kehidupan, keluarga itu mempunyai tanggung-jawab yang serba menentukan. Tanggung-jawab keluarga itu berakar dalam hakikatnya sendiri sebagai persekutuan hidup dan cinta kasih berdasarkan pernikahan…”  Oleh karena itu peranan keluarga dalam membangun kebudayaan hidup serba menentukan dan tidak tergantikan. Sebagai ‘Gereja Rumah Tangga’, keluarga dipanggil untuk mewartakan, merayakan dan melayani Injil Kehidupan. Itulah tanggung-jawab yang pertama-tama menyangkut pasangan suami-istri, yang dipanggil menjadi pemberi hidup, berdasarkan kesadaran yang makin besar akan makna prokreasi sebagai peristiwa unik, yang dengan jelas menampilkan, bahwa hidup manusiawi itu anugerah, yang diterima untuk dilimpahkan sebagai pemberian” (EV 92: Keluarga mewartakan Injil Kehidupan melalui membesarkan anak); merayakan Injil Kehidupan melalui doa, karya dan pelayanan harian, yang dinyatakan dalam semangat solidaritas dan cinta kasih (EV 93).

Sedangkan suami-istri yang tidak dikarunia Tuhan dengan anak-anak, masih dapat menjalankan kehidupan berkeluarga yang sangat berarti secara manusiawi. Perkawinan mereka itu dapat menghasilkan dan memancarkan cinta kasih, kerelaan untuk membantu dan semangat berkorban demi ksejahteraan bersama.

  7. Kesimpulan


Rasul Paulus berkata: “Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepada istri sama seperti Kristus adalah kepala Jemaat” (Ef 5:22). “Hai, suami, kasihilah istrimu sebagaimana Kristus telah mengasihi Jemaat, dan telah menyerahkan diri-Nya baginya untuk menguduskannya” (Ef 5:25). “Rahasia ini besar; tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan Jemaat” (Ef 5:32).

Sakramen perkawinan adalah tanda untuk perjanjian antara Kristus dan Gereja. Ia memberi rahmat kepada suami-istri, agar saling mencintai dengan kasih sayang, yang dengannya Kristus mencintai Gereja. Demikian rahmat sakramen menyempurnakan cinta manusiawi suami-istri, meneguhkan kestuan yang tak terhapuskan dan menguduskan mereka di sepanjang peziarahan hidup ini menuju hidup abadi.

Perkawinan itu berakar dalam kesepakatan dan kesetiaan satu sama lain, dan memiliki sifat kesatuan, tak terceraikan, dan kesediaan untuk kesuburan adalah sangat hakiki bagi perkawinan. Dengan demikian poligami tidak sesuai dengan kesatuan perkawinan; dan perceraian itu memisahkan apa yang Allah telah persatukan; serta penolakan untuk menjadi subur, menghapus dari hidup perkawinan, “anugerah yang paling utama’ anak (bdk. Gaudium et Spes 50,1).

Akhirnya marilah kita membuat suatu komitmen untuk membangun Keluarga yang BERTAMAN HADI, untuk menunjukkan bahwa kita tetap setia dalam panggilan dan tugas perutusan sebagai suami-istri, yang mengharapkan mampu menciptakan kebahagiaan lahir dan batin. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar