Senin, 28 Mei 2012

03. "Membunuh Mertua" ala Sinshe Wang

Saking Bencinya, sang mantu kepada ibu mertua, karena ketidak cocokan, dapat membuat sebuah rumah tangga kacau balau. Kejengkelan yang mencapai puncaknya bisa mendorong seseorang 'untuk melenyapkan' sang ibu mertua.

Nah, di bawah ini disajikan sebuah kisah "Menantu membunuh Mertua" (MmM)


Dahulu kala di negeri Cina, adalah seorang gadis bernama Li-Li. Ia baru menikah dan tinggal di wisma mertua indah.

Dalam waktu singkat, Li-Li tahu bahwa ia sangat tidak cocok tinggal serumah dengan ibu mertuanya. Karakter mereka sangat jauh berbeda. Dan Li-Li sangat tidak menyukai kebiasaan ibu mertuanya.

Hari berganti hari, begitu pula bulan berganti bulan. Li-Li dan ibu mertuanya tak pernah berhenti berdebat dan bertengkar.

Yang makin membuat Li-Li kesal adalah adat kuno Cina yang mengharuskan ia untuk selalu menundukkan kepala untuk menghormati mertuanya dan mentaati semua kemauannya.

Semua kemarahan dan ketidakbahagiaan di dalam rumah itu menyebabkan kesedihan yang mendalam pada hati suami Li-Li, seorang yang berjiwa sederhana.

Akhirnya, Li-Li tidak tahan lagi terhadap sifat buruk dan kelakuan ibu mertuanya. Dan ia benar-benar telah bertekad untuk melakukan sesuatu.

Li-Li pergi menjumpai seorang teman ayahnya yaitu Sinshe Wang yang mempunyai Toko Obat Cina. Ia menceritakan situasinya dan minta dibuatkan ramuan racun yang kuat untuk diberikan pada ibu mertuanya.

Sinshe Wang berpikir keras sejenak. Lalu ia berkata, "Li-Li, saya mau membantu kamu menyelesaikan masalahmu, tetapi kamu harus mendengarkan saya dan mentaati apa yang saya sarankan."

Li-Li berkata, "OK pak Wang, saya akan mengikuti apa saja yang bapak katakan, yang harus saya perbuat."

Sinshe Wang masuk ke dalam, dan tak lama ia kembali dengan menggenggam sebungkus ramuan.

Ia berkata kepada Li-Li, "Kamu tidak bisa memakai racun keras yang mematikan seketika, untuk meyingkirkan ibu mertuamu, karena hal itu akan membuat semua orang menjadi curiga.

Oleh karena itu, saya memberi kamu ramuan beberapa jenis tanaman obat yang secara perlahan-lahan akan menjadi racun di dalam tubuhnya.

Sinshe Wang melanjutkan, “Setiap hari, sediakan makanan yang enak-enak dan masukkan sedikit ramuan obat ini ke dalamnya. Lalu, supaya tidak ada yang curiga saat ia mati nanti, kamu harus hati-hati sekali dan bersikap sangat bersahabat dengannya. Jangan berdebat dengannya, taati semua kehendaknya, dan perlakukan dia seperti seorang ratu."

Li-Li sangat senang. Ia berterima kasih kepada pak Wang dan buru-buru pulang ke rumah untuk memulai rencana membunuh ibu mertuanya.

Minggu demi minggu, bulan demi bulan pun berlalu. Setiap hari Li-Li melayani mertuanya dengan makanan yang enak-enak, yang sudah "dibumbuinya".

Ia mengingat semua petunjuk dari Sinshe Wang tentang hal mencegah kecurigaan. Maka ia mulai belajar untuk mengendalikan amarahnya, mentaati perintah ibu mertuanya, dan memperlakukannya seperti ibunya sendiri.

Setelah enam bulan lewat, suasana di dalam rumah itu berubah secara drastis. Li-Li sudah mampu mengendalikan amarahnya sedemikian rupa sehingga ia menemukan dirinya tidak pernah lagi marah atau kesal

Ia tidak pernah berdebat lagi dengan ibu mertuanya selama enam bulan terakhir karena ia mendapatkan bahwa ibu mertuanya kini tampak lebih ramah kepadanya.

Sikap si ibu mertua terhadap Li-Li telah berubah, dan mulai mencintai Li-Li seperti puterinya sendiri. Ia terus menceritakan kepada kawan-kawan dan sanak familinya bahwa Li-Li adalah menantu yang paling baik yang ia peroleh

Li-Li dan ibu mertuanya saling memperlakukan satu sama lain seperti layaknya seorang ibu dan anak yang sesungguhnya. Suami Li-Li sangat bahagia menyaksikan semua yang terjadi.

Suatu hari, Li-Li pergi menjumpai Sinshe Wang dan meminta bantuannya sekali lagi. Ia berkata, "Pak Wang, tolong saya untuk mencegah supaya racun yang berikan kepada ibu mertua saya tidak sampai membunuhnya!”

Ia telah berubah menjadi seorang wanita yang begitu baik, sehingga saya sangat mencintainya seperti kepada ibu saya sendiri. Saya tidak mau ia mati karena racun yang saya berikan kepadanya."

Sinshe Wang tersenyum. Ia mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Li-Li, tidak ada yang perlu kamu khawatirkan. Saya tidak pernah memberi kamu racun. Ramuan yang saya berikan kepadamu itu hanyalah ramuan penguat badan untuk menjaga kesehatan beliau.”

Satu-satunya racun yang ada, adalah yang terdapat di dalam pikiranmu sendiri, dan di dalam sikapmu terhadapnya, …”

“… tetapi semuanya itu telah disapu bersih dengan cinta yang kamu berikan kepadanya ..."

Sadarkah anda bahwa sebagaimana anda memperlakukan orang lain maka demikianlah persis bagaimana mereka akan memperlakukan anda?

Ada pepatah Cina kuno berkata:
"Orang yang mencintai orang lain, akan dicintai juga sebagai balasannya."

02. Spiritualitas Perkawinan

Tulisan berikut saya copas dari tulisan Rm. St. Sumardiyo Adipranoto, Pr (Keuskupan Bogor)


SPIRITUALITAS  PERKAWINAN  MENDASARI

PEMBANGUNAN  KELUARGA  KRISTIANI

( Ef 5:22-33 )

1. Spiritualitas

Spiritualitas itu merupakan kata yang berasal dari bahasa Latin, “spiritus” (spirit) yang berarti “roh”. Spiritualitas itu maksudnya suatu dinamika, semangat, corak hidup spiritual, yaitu usaha yang terus-menerus untuk mencari dan menjalani suatu pola hidup yang khas. Hidup spiritualitas itu biasanya berakar dalam hidup beriman yang dibagikan, maka spiritualitas ini memerlukan suatu komunitas, atau suatu persekutuan hidup. Dan komunitas atau persekutuan hidup ini berpusat pada perjumpaan dengan Yang Ilahi, pertemuan dengan Tuhan dalam sharing iman atau saling membagi pengalaman rohani. Itulah kehidupan yang diwarnai dengan hidup spiritual. Pada intinya, spiritualitas itu sama untuk setiap pribadi, yaitu: menjadikan diri sebagai pribadi beriman, dengan hidup bersama dalam jalan dan rencana Tuhan, agar dapat menjalankan corak hidup rohani atau hidup spiritual yang khas dalam kehidupan sehari-hari.

2. Perkawinan atau Pernikahan

Pada umumnya perkawinan itu merupakan perpaduan bukan pemisahan. Perpaduan apa? Perpaduan dua pribadi: pria dan wanita, yang masing-masing membawa-serta keunikan, watak dan sifat yang tidak sama, namun mereka dipanggil untuk hidup menyatu dan membentuk “communio”, yang hidup saling mencintai dan diutus untuk hidup saling melengkapi, menguduskan serta menyelamatkan. Apa itu mungkin? Mengapa tidak? Apakah dasarnya? Asalkan kedua pribadi, pria dan wanita itu ada kesepakatan atau konsensus dan mendasarkan niatnya dengan spiritualitas hidup saling mencintai! Karena itu konsep alkitabiah mengenai perkawinan atau pernikahan: “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (Kej 2:24). Kemudian dalam perjanjian baru, Rasul Paulus menegaskan kembali: “Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging” (Ef 5:31).

Sedangkan perkawinan atau pernikahan Kristiani yang bersifat sakramental melibatkan lebih dari dua pribadi, pria dan wanita. Sebagai anggota Pasamuan Suci atau Gereja Kudus Tuhan Yesus Kristus, maka di dalam perkawinan Kristiani dihadirkan juga di dalamnya Pribadi ketiga, yaitu Yesus Kristus. Dialah yang akan memberi makna, membimbing, mempersatukan dan mengarahkan ralasi dan hidup suami-istri Kristiani. Perkawinan mereka itu diangkat ke martabat Sakramental. Sakramen itulah yang menjadikan tanda dan bukti kehadiran Tuhan. Karenanya dalam perkawinan Kristiani, tanda dan bukti kehadiran Tuhan Yesus yang mencintai Umat-Nya itu diwujud-nyatakan secara khusus, bukan dengan benda, melainkan dua pribadi, pria dan wanita yang saling mencintai. Maka dari itu, perkawinan Kristiani selayaknya berlangsung dalam Liturgi Sakramen Perkawinan.

3. Liturgi Sakramen Perkawinan

Dalam liturgi sakramen perkawinan itu kedua pengantin akan mengucapkan janji prasetia (sumpah), yaitu perjanjian yang dibuat di hadapan Allah, imam dan para saksi serta disaksikan juga oleh umat Allah yang hadir. Mereka itu “dipersatukan oleh Allah” karena mendasari dengan cinta, saling menerimakan sakramen perkawinan, maka Allah menetapkan manusia-pria untuk menjadi tanda cinta-Nya bagi sang istri; dan Allah mengangkat manusia-wanita untuk menjadi tanda cinta-Nya bagi sang suami. Jaminan semacam inilah yang akan membuat mereka saling bertahan; bukan karena kekuatan hukum atau takut akan sanksi jika melanggar, melainkan karena perjanjian, kesepakatan atau konsensus dari dua pribadi yang dilalakukannya di hadapan Allah itu, tanpa syarat.

4. Konsekuensi bagi Suami-Istri

Suami-istri menjadi tanda kehadiran kasih Allah satu sama lain. Mereka berdua pada hakikatnya menjadi satu. Lambang dan perwujudan kasih setia Yesus Kristus kepada Gereja-Nya (bdk. Ef 5:24-28). Mereka itu membentuk keluarga, yaitu persekutuan hidup antara pria dan wanita yang membentuk komunitas antar pribadi berdasarkan cintakasih dan konsensus. Konsekuensinya, persekutuan hidup perkawinan itu menyatukan pria dan wanita dalam kesatuan lahir dan batin, dan mencakup aspek hidup raga, jiwa dan spiritual. Inilah komitmen yang mereka bangun berdasarkan kebebasan. Hal inilah yang memungkinkan pria dan wanita dapat saling menerima dan memperkaya satu sama lain.

Hidup suami-istri Kristiani yang mendasarkan persekutuan hidupnya dalam sakramen baptis dipanggil dan diutus untuk mengambil bagian dalam Tritugas Yesus Kristus, yaitu semakin didorong untuk menampilkan diri sebagai Nabi (mengajar, mewartakan, memberikan kesaksian); Imam (saling menguduskan jiwa, mendekatkan hati dan hidupnya kepada Tuhan); dan Raja (saling melayani dan mengabdikan diri kedalam dan keluar dari pasangannya).

Bagaimana kita mesti mewujudkan dan mengembangkan spiritualitas perkawinan dalam persekutuan kasih saumi-istri? Pasutri dipanggil dan diutus  menyatakan bagaimana Yesus mencintai Gereja-Nya: hidup bergembira, saling menyukai satu sama lain, saling merawat kesetiaan, saling mengampuni, saling menjadikan dirinya pendengar yang baik, saling memberikan pertolongan yang menyelamatkan dan menguduskan satu sama lain, agar dapat menemukan jadi diri mereka dalam satu sama lain.
5. Keluarga Dibangun Atas Dasar Saling Mecintai

Keluarga, didasarkan pada perkawinan, merupakan suatu persekutuan hidup dan cinta kasih (suatu persekutuan ‘seluruh hidup’ menurut Hukum Gereja, Kitab Hukum Kanonik can. 1055), mempunyai ‘elemen yang tidak dapat dihilangkan’ yang ‘membuat perkawinan’, yakni pertukaran konsensus atau kesepakatan ‘nikah’, dan memberntuk suatu persekutuan seluruh hidup (bdk. KGK no.1601), merupakan pemberian diri di dalam Tuhan dan melalui Tuhan.  Pemberian diri yang diungkapkan dalam konsensus itu bersifat “pribadi dan tidak dapat ditarik kembali” yang membentuk perjanjian perkawinan, memuat semangat dan kualitas untuk saling ‘memberikan diri’ secara total dan definitif (KGK 2364). Pemberian diri secara total membawa pada kebutuhan akan makna dan arti kesetiaan suami-istri. Hal ini merupakan bentuk konkret pemberian diri dan hidup yang melibatkan dan membebaskan. Cinta kasih yang mendasari dan menjadi sumber hidup persekutuannya itu mengkondisikan orang tidak merasa takut dan kuatir akan pasangannya; dan tidak akan secara bebas satu sama lain mengkhianati makna dan arti persekutuannya itu. 

Dalam Kejadian 2:24 ditekankan: “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.”  Sikap “saling memberikan dirinya”, pasangan suami-istri, “menjadi ‘una caro’, satu daging”, yaitu merupakan suatu “communio personarum” (persekutuan pribadi-pribadi) dalam kesatuan hidup jiwa, raga dan rohani. Mereka saling memberikan diri dengan daya kekuatan jiwa, raga dan rohani melalui dan dalam cinta kasih di mana seks dialami dan dihayati sebagai suatu bahasa yang mengungkapkan ‘pemberian diri’.

Sebagaimana dikatakan Paus Yohanes Paulus II dalam seruan apostolik “Familiaris Cosortio”, atau ensikliknya, bahwa seks adalah suatu sarana dan tanda pemberian diri timbal-balik. “Oleh karena itu seksualitas, yang bagi pria maupun wanita merupakan upaya atau sarana untuk saling menyerahkan diri melalui tindakan yang khas dan eksklusif bagi suami-istri, sama sekali tidak melulu bersifat biologis, tetapi menyangkut kenyataan pribadi manusiawi juga. Seksualitas itu hanya diwujudkan secara sungguh manusiawi, apabila merupakan unsur integral dalam cinta kasih suami-istri, yang saling menyerahkan diri sepenuhnya seumur hidup (FC 11).

Kemudian Katekismus Gereja Katolik mengajarkan: “Gereja memandang kesepakatan pria dan wanita sebagai unsur yang mutlak perlu untuk perjanjian perkawinan. Sebab, kalau kesepakatan tidak ada, perkawinan tidak jadi (KGK no.1626). Lantas pada KGK no.1627 dikatakan: “Kesepakatan itu merupakan ‘tindakan manusiawi’, yakni saling menyerahkan diri dan saling menerima antara suami dan istri” (GS 48,1; bdk. KHK no. 1057 $2). Saling diucapkan oleh mempelai pria: “Saya menerima engkau sebagai istri saya.”; demikian mempelai wanita itu mengatakan: “Saya menerima engkau sebagai suami saya.”  Kesepakatan yang memikat para mempelai satu sama lain itu diwujudkan demikian, bahwa ‘keduanya menjadi satu daging’. (Kej 2:24; Mrk 10:8; Ef 5:31).

6. Anak itu Merupakan Karunia Perkawinan

Santo Agustinus pernah mengajarkan: “Di antara kebaikan (harta kekayaan) perkawinan, keturunan mendapat tempat yang utama. Kitab Kejadian juga mengungkapkan, Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranak-cuculah dan bertambah banyak” (Kej 1:28). “Menurut kodratnya lembaga perkawinan dan cinta suami-istri terarah pada kelahiran, atau keturunan dan pendidikan, dan sebagai puncaknya bagaikan dimahkotai olehnya” (Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes tentang Gereja dalam Dunia Modern 48,1).
“Memang anak-anak merupakan karunia perkawinan yang paling luhur, dan besar sekali artinya bagi kesejahteraan orangtua. Allah sendiri bersabda: ‘Tidak baiklah manusia hidup seorang diri’ (Kej 2:18); dan lagi: ‘Dia … yang sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan’ (Mat 19:4), Ia bermaksud mengijinkan manusia, untuk secara khusus ikut serta dalam karya penciptaan-Nya sendiri, dan memberkati pria maupun wanita sambil berfirman: ‘Beranak-cuculah dan bertambah banyaklah!’ (Kej 1:28). Oleh karena itu pengembangan kasih suami-istri yang sejati, begitu pula seluruh tata hidup berkeluarga yang bertumpu padanya, tanpa memandang kalah penting tujuan-tujuan lain dari perkawinan; bertujuan supaya suami-istri bersedia untuk penuh keberanian bekerja sama dengan semangat cinta kasih Sang Pencipta dan Penyelamat, yang melalui pasangan suami-istri makin memperluas dan memperkaya keluarga-Nya” (GS 5,1).

Kesuburan cinta kasih suami-istri nampak pula di dalam buah-buah kehidupan moral dan rohani,  yang orangtua lanjutkan kepada anak-anaknya melalui pendidikan. Orangtua adalah pendidik yang pertama dan terpenting (Pernyataan Konsili “Gravissimum Educationis” tentang Pendidikan Kristen 3). Dalam arti ini, bahwa tugas mendasar dari perkawinan dan keluarga terletak dalam pengabdian kehidupan (bdk. FC 28).

Dalam keluarga, ‘kenisah kehidupan’, Ensiklik Evangelium Vitae menunjukkan bahwa di lingkungan umat kehidupan, keluarga itu mempunyai tanggung-jawab yang serba menentukan. Tanggung-jawab keluarga itu berakar dalam hakikatnya sendiri sebagai persekutuan hidup dan cinta kasih berdasarkan pernikahan…”  Oleh karena itu peranan keluarga dalam membangun kebudayaan hidup serba menentukan dan tidak tergantikan. Sebagai ‘Gereja Rumah Tangga’, keluarga dipanggil untuk mewartakan, merayakan dan melayani Injil Kehidupan. Itulah tanggung-jawab yang pertama-tama menyangkut pasangan suami-istri, yang dipanggil menjadi pemberi hidup, berdasarkan kesadaran yang makin besar akan makna prokreasi sebagai peristiwa unik, yang dengan jelas menampilkan, bahwa hidup manusiawi itu anugerah, yang diterima untuk dilimpahkan sebagai pemberian” (EV 92: Keluarga mewartakan Injil Kehidupan melalui membesarkan anak); merayakan Injil Kehidupan melalui doa, karya dan pelayanan harian, yang dinyatakan dalam semangat solidaritas dan cinta kasih (EV 93).

Sedangkan suami-istri yang tidak dikarunia Tuhan dengan anak-anak, masih dapat menjalankan kehidupan berkeluarga yang sangat berarti secara manusiawi. Perkawinan mereka itu dapat menghasilkan dan memancarkan cinta kasih, kerelaan untuk membantu dan semangat berkorban demi ksejahteraan bersama.

  7. Kesimpulan


Rasul Paulus berkata: “Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepada istri sama seperti Kristus adalah kepala Jemaat” (Ef 5:22). “Hai, suami, kasihilah istrimu sebagaimana Kristus telah mengasihi Jemaat, dan telah menyerahkan diri-Nya baginya untuk menguduskannya” (Ef 5:25). “Rahasia ini besar; tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan Jemaat” (Ef 5:32).

Sakramen perkawinan adalah tanda untuk perjanjian antara Kristus dan Gereja. Ia memberi rahmat kepada suami-istri, agar saling mencintai dengan kasih sayang, yang dengannya Kristus mencintai Gereja. Demikian rahmat sakramen menyempurnakan cinta manusiawi suami-istri, meneguhkan kestuan yang tak terhapuskan dan menguduskan mereka di sepanjang peziarahan hidup ini menuju hidup abadi.

Perkawinan itu berakar dalam kesepakatan dan kesetiaan satu sama lain, dan memiliki sifat kesatuan, tak terceraikan, dan kesediaan untuk kesuburan adalah sangat hakiki bagi perkawinan. Dengan demikian poligami tidak sesuai dengan kesatuan perkawinan; dan perceraian itu memisahkan apa yang Allah telah persatukan; serta penolakan untuk menjadi subur, menghapus dari hidup perkawinan, “anugerah yang paling utama’ anak (bdk. Gaudium et Spes 50,1).

Akhirnya marilah kita membuat suatu komitmen untuk membangun Keluarga yang BERTAMAN HADI, untuk menunjukkan bahwa kita tetap setia dalam panggilan dan tugas perutusan sebagai suami-istri, yang mengharapkan mampu menciptakan kebahagiaan lahir dan batin. Amin.

Selasa, 22 Mei 2012

Jika Memiliki Dua Kekasih, yang Manakah Cinta Sejati anda???!

Sebagai persembahan pertama dalam blog ini, saya tawarkan sebuah bacaan yang penting untuk orang-orang yang merasa sulit memutuskan, saiapakah diantara 'teman dekatnya' yang sungguh-sungguh ia cintai, tanpa embel-embel pertimbangan rasionalitas semata ? Mana dari mereka yang sebaiknya anda nikahi ? Mengapa kebanyakan pernikahan masa kini mengalami kegagalan? Mengapa usia pernikahan mereka begitu singkat?
Silakan baca tulisan di bawah ini, sangat menarik !!!


BILA AKAN MENIKAH


Setahun telah berlalu. Caroline Fanway mengamati fajar kelabu dengan mata yang suram. Cinta yang telah lama ia dambakan datang pada akhirnya. Apa yang ia bayangkan akan menjadi saat-saat yang cerah ternyata hanya penderitaan. Memang telah banyak kemenangan diraihnya. Kelas artis itu bukan hanya melahirkan cinta, tetapi juga menaikkan tingkat pekerjaannya seperti diramalkan oleh Ny. Brice. Ia bahagia dalam pekerjaannya, dengan mengekspresikan daya kreasinya dalam periklanan. Memang bukan melukis gambar. Tapi itu akan dicapainya suatu hari kelak. Pekerjaannya berjalan lancar.

Persoalannya sekarang sudah pasti. Apakah ia akan menikah? Apa akibatnya atas pekerjaannya? Dan kawin dengan yang mana dari kedua pria yang kelihatannya sama-sama mengaguminya? Apakah ia mencintai keduanya? Keduanya ingin menikahi dia dalam musim panas ini dan ia mengakui ia lebih suka menikah daripada melakukan apapun di dunia ini. Penderitaan karena tekanan seks telah lama menggodanya. Berulangkali ia mengalah, hampir-hampir memuaskan keinginan yang tidak pernah mau diam.

Menjelang berakhirnya jam kerja, Caroline berjalan menuju ke kantor Ny. Brice, dan dengan agak malu-malu menuturkan ceritanya.

“ Saya kembali lagi,” ia memulai, “ tapi kali ini bukan karena sulit mencari teman. Saya kira anda telah membantu saya terlalu baik. Kelihatannya saya benar-benar disenangi, dan dua orang lelaki ingin menikahi saya.”

Lalu ia menceritakan pilihan yang sulit itu dan malam tak bisa tidur takut jangan-jangan ia berbuat kekeliruan dan mengawini seseorang yang tidak ia cintai. Tampaknya kedua lelaki itu sungguh-sungguh mencintai dirinya.

“Kau kan beruntung?” kata Ny. Brice.

Caroline memandangnya cepat, sambil mencoba mengerti apa maksudnya, tapi Ny. Brice memandangnya mantap dan senyum. Lalu menceritakan pada Caroline suatu kejadian, mengenai sebuah kecelakaan lalu lintas yang mengerikan, dimana kedua lelaki itu luka parah.

Ia menceritakannya begitu baik, sampai Caroline, dengan tangan terkepal, duduk sambil menangis. ” Tidak, tidak, bukan itu, bukan itu,”  teriaknya sambil menangis.

“Memang tidak. Tapi apa kau tidak tahu yang mana akan kau ikuti ? Yang mana yang kau cintai?”

Caroline mengangguk,” Dick.”

“Itulah.” Ny. Brice melanjutkan,” Cinta bukan soal reputasi. Itu tidak tergantung kepada kecerdasan atau kekayaan materil. Itu soal kecocokan. Kita merasakan tarikan yang aneh, begitu kira-kira? Dalam masalahmu ini, setelah kau mengatasi rasa segan berlebihan dengan berhasil, masih ada tertinggal sedikit androphobia, perasaan takut kepada laki-laki dan takut terhadap pertimbanganmu sendiri sehubungan dengan mereka. Kau lihat bahwa Fenwick Atwood seorang lelaki yang baik, cerdas dan berkecukupan. Ia seorang yang kukuh dan aktif merayu. Tapi Richard Strong justru yang kau cintai, sekalipun ia miskin dan tidak begitu hebat kecerdasannya. Kau merasakan kelembutan dan pengertiannya. Hatimu mengetahui kesetiaannya.”

“Saya merasa aman bersama dia,” Caroline menyetujui.

“Itu salah satu tanda yang paling meyakinkan,” Ny. Brice melanjutkan.” Tentu tak banyak gunanya kalau saya hanya menanyakan padamu tentang mutu relatif dari kedua lelaki itu. Kau telah memberikan jawaban yang sadar, yang mungkin saja memperdayakan kita berdua. Maka saya harus mencoba supaya engkau membayangkan pengalaman yang akan menyentuh perasaan hatimu. Itu sebabnya saya menuturkan cerita tadi, dimana kalian bertiga terlibat dalam kecelakaan mobil dan kedua pria itu terluka.”

“Anda menceritakannya begitu hidup, sampai-sampai saya seolah-olah mengalaminya betul-betul.” kata Caroline,” persis seperti ketika saya membaca novel-novel itu. Tapi saya segera sadar bahwa saya tidak patut tergesa-gesa mengikuti Fenwick. Kalau sesuatu terjadi atas Richard, saya tak bisa tahan sama sekali.”

“Kalau kau tidak menikahinya, juga akan terasa demikian sepanjang hidupmu. Kalau kau mengawini Fenwick, kau masih akan hidup bersama Dick dalam khayalan, patah hati karena selalu gelisah memikirkan bagaimana keadaannya.”

“Bagaimana sampai anda begitu bijaksana menggunakan cara itu untuk membuktikan hal ini?” tanya Caroline.

“Itu bukan kebijaksanaan, sayang. Cuma latihan. Kita tahu bahwa dalam setiap masalah serius, rahasianya tak lain dari mengetahui bagaimana membuat pikiran seseorang memasuki suatu pengalaman dan menghayati masalah itu seakan-akan merenungkan dalam-dalam dan tanpa dipengaruhi orang lain. Dengan membuatmu meresapi cerita itu, kedua tujuan itu bisa dicapai.”

Andaikata hanya ada sekeping saran untuk memecahkan kesulitan hidup, maka inilah dia. Pindahkan pemikiran anda ke dalam pengalaman. Buatlah teori itu dapat disentuh. Taruh perasaan ke dalam tindakan yang dibayangkan. Uji pendapat anda dengan membayangkannya dalam tindakan.

Caroline mengalami konflik sebab ia tidak mempertimbangkannya dalam-dalam, tapi hanya kuatir tentang kerumitan cintanya. Ia menggunakan kecerdasan dalam menilai kelahiran Fenwick Atwood dan berpikir mengenai Richard Strong. Ia sembunyikan daya tarik seks dari cintanya terhadap Dick, sampai ia sendiri melupakannya. Dan lebih dari itu, Fenwick ternyata sangat hangat dalam mencintainya. Kini Caroline mengerti, bahwa uangnya memberi keyakinan pada dirinya, sedangkan Dick ragu-ragu apakah ia mungkin melakukan bagi Caroline segala sesuatu yang ia rasakan patut diperolehnya.

Bila orang-orang berpikir bahwa mereka sedang jatuh cinta, kebanyakan dipengaruhi oleh gagasan bodoh mengenai penyangkalan diri, sehingga tertipu oleh tindakan kasih-sayang yang terlalu ingin memiliki. Mereka anggap untuk dicintai mereka perlu meyakinkan orang lain bahwa mereka patut dihargai sebagai pribadi-pribadi, karena menyangkal diri dan mengorbankan-diri dimata kekasihnya. Maka merekapun kawin, dan anda tahu lanjutan ceritanya. Hal yang umum terjadi.

Jangan kawin hanya karena seseorang mencintai anda. Itu bukan alasan yang cukup, dan kadang-kadang alasan yang buruk. Kalau ia ingin memiliki dan cemburu, ia tidak mencintai anda. Ia hanya menginginkan diri anda. Ia perlu memiliki anda untuk membesarkan kebanggaan-dirinya. Kalau anda jadi budaknya, ia merasa berkuasa. Kalau anda memuaskan ketamakannya, anda akan menyesal seumur hidup. Sifat ingin terlalu memiliki dan cemburu merupakan ciri-ciri kebinatangan yang suka mencari mangsa.

Kawinlah hanya kalau orang lain itu kelihatan manis dan menyenangkan bagi anda. Kawinlah kalau anda mencintai, bukan kalau anda mau berkorban buat dia, atau ingin memiliki dia. Bila iblis kembar itu, penyangkalan-diri dan sifat terlalu-ingin memiliki, memasuki hubungan antar manusia, neraka akan datang menyusul, dan cinta akan terbang lewat pintu entah ke mana. Kalau anda kawin atas dasar  mengorbankan-diri, pasti anda akan memilih pribadi yang paling malang di bumi untuk dikawini, sebab itulah artinya penyangkalan diri yang terbesar. Hukum mengenai cinta, sebenarnya, menunjukkan kebodohan penyangkalan-diri sebagai suatu cara hidup. Membuang intuisi dan hasrat-hasrat utama anda kebelakang akan menyebabkan perkawinan tak lebih dari pelacuran. Kalau dibiarkan sesuatu selain kenyataan dan keutuhan cinta anda, membawa anda kepada perkawinan, itu sungguh suatu kejahatan.

Jangan memasuki perkawinan hanya untuk menyenangkan orang lain. Itu hanya akan mencemarkan cinta, dan kalau perkawinan anda tidak berakhir dengan perceraian, sebenarnya harus. Dorongan yang sejati dan dalam untuk mencari teman hidup, suatu waktu kelak akan muncul sehingga hubungan yang hanya berupa kompromi itu akan menjadi penderitaan. Jangan biarkan nasib orang lain manapun merintangi cinta, kalau tidak, secara diam-diam anda akan membenci dan membinasakan orang terhadap siapa anda telah mengorbankan kans anda untuk kebahagiaan yang romantis.

Lebih penting dari segalanya, jangan sekali-kali menikahi seseorang yang tidak bisa tetap sebagai kekasih. Selalu ada bahaya bahwa seorang pria akan menjadi seorang suami dengan mengorbankan keutuhan-dirinya. Kalau ia kehilangan kepribadian dalam hubungan ini, akhirnya juga ia akan kehilangan hubungan itu. Kalau ia jadi tenggelam dalam persahabatan semu, bertindak sebagai budak yang taat karena seorang wanita menumpahkan segala persoalannya, dan masyarakat mendorong dia ke dalam posisi yang tak berdaya sebagai pemikul beban, ia akan habis seperti gema yang tidak dibutuhkan.

Ada satu hukum dasar dalam cinta:” Selalulah berlaku sebagai diri anda.” Mulailah demikian, sebab cuma itu perlindungan anda. Jangan lakukan apapaun yang bertentangan dengan pribadi anda hanya untuk merayu wanita atau pria, sebab anda hanya akan memenangkan kesulitan. Ia, yang tidak menyukai diri anda apa adanya, akan mulai membenci anda pada ahirnya secara diam-diam bila faktanya tersingkap.

Jangan menjadi pengikut saja bagi partner dalam perkawinan. Pertahankan cita-cita dan nilai-nilai intelektual anda. Jangan biarkan lelaki mengurung anda terus di rumah, atau seorang wanita membelenggu anda di rumah seperti hewan peliharaan. Anda adalah milik hidup ini pertama-tama, dan milik partner anda hanya selama ia tidak mencoba terlalu ingin memiliki anda.

Jangan lupakan hukum perkembangan menuju kematangan. Mereka yang kawin pada usia dua puluhan pasti belum berkembang dalam banyak segi, sebab tak seorangpun yang matang pada usia sedemikian. Keduanya sedang bertumbuh. Yang penting dipikirkan bukanlah “ Bagaimana keadaanya sekarang sebenarnya.?” Tetapi “ Bakal bagaimana keadaan dia nanti? Ke arah mana ia akan berjalan? Bagaimana ia berkembang? Bagaimana keadaan dia duapuluh lima tahun lagi?

Apakah ia akan berkembang menuju kematangan seperti cara anda? Apakah anda mau dan dapat berkembang bersama? Kalau demikian, anda bisa tetap bersama-sama. Kalau kalian berkembang kearah yang berlainan, alam akan memaksa perceraian. Sikap mengenai perkembangan dalam jangka panjang penting sekali dalam mempertimbangkan perkawinan. Anda akan terhindar juga dari sikap perfeksionisme. Sungguh menggelikan kalau anda menilai bakal teman hidup anda menurut patokan ideal yang anda harapkan pada waktu ia telah berusia sembilan puluh tahun. Tak mungkin ia sama bijaksananya, lembutnya dan simpatiknya seperti pada usia dua puluh sembilan tahun. Perlu tahun-tahun yang lama untuk mengembangkan pengertian yang lembut, tapi matang.

Kalau kekasih anda berjanji menyingkapkan hal seperti itu, itu cukup berarti. Jika anda yang menyingkapkannya, ia memegang nilai-nilai anda, ia berbicara dalam bahasa kejiwaan anda. Tapi jangan nikahi dia kalau anda mencintai ketenangan dan ia mengagumi keributan; kalau anda mencari museum dan ia mencari hiburan di restauran. Anda menghentikan sakit jantung bila anda menghadapi kenyataan bahwa lebih baik kehilangan cinta sekarang daripada bangkit setelah beberapa tahun perkawinan semu dan anda sadar bahwa perkawinan itu tak pernah anda hayati.

Kalau anda mengkompromikan cinta, anda menolak dan bahkan merusak hubungan azasi anda dengan kehidupan. Lebih dari itu, anda menjadi balok rintangan dalam kehidupan orang yang anda kawini. Anda merugikan kehidupannya justru dengan hidup bersama atau membebani dia. Pemuasan diri sedemikian melanggar prinsip dasar keintiman. Kalau perkawinan hanya untuk memuaskan kebanggaan-diri, hanya untuk mendapatkan apa yang di dambakan oleh hasrat anda yang bukan-bukan pada saat itu, hilanglah vitalitas yang anda rindukan dalam kehidupan.

Sekapur Sirih Taman Bacaan Saulus - Oleh Saulus Paschalius

Menikmati buku-buku yang berguna kadangkala membutuhkan kemauan kuat dan ... waktu ... juga biaya. Sebagian orang yang saya kenal, ada yang sungguh-sungguh melakukannya setiap hari, dan tentu saja pengetahuannya akan apa yang telah dibacanya jadi meningkat tajam. Dia menjadi orang yang berpengetahuan lebih dari yang lain-lain. Hal itu mendorongnya menjadi seorang penulis yang cukup produktif dan aktif.

Namun, terkadang tulisannya jarang yang membacanya.

Apa sebabnya?

Ternyata kita butuh pengetahuan lain yang menunjangnya, yakni pengenalan pada media yang bisa digunakannya untuk menebarkan tulisan-tulisannya itu. Salah satunya adalah melalui blog, yang disediakan oleh Google. Karenanya saya amat berterima kasih atas kesempatan ini.

Nah, blog ini saya tampilkan untuk menampung dan menebarkan karya-karya yang telah ditulis oleh rekan-rekan atau orang lain yang saya anggap cukup berguna untuk menambahkan sesuatu bagi yang membacanya. Ditambah dengan hal-hal lain, yang bisa saja menyusul dan memperbaiki idea yang baru lahir sekarang. Mudah-mudahan langkah awal ini akan disambut baik.

Salam

Saulus memulai aktifkan blog ini tanggal 23 Mei 2012, sebagai persembahan kepada istriku tercinta, Ratna Dewi, yang berulang tahun hari ini.

di http://tamanbacaan-saulus.blogspot.com/