Tulisan berikut saya copas dari tulisan
Rm. St. Sumardiyo Adipranoto, Pr (Keuskupan Bogor)
SPIRITUALITAS PERKAWINAN
MENDASARI
PEMBANGUNAN KELUARGA
KRISTIANI
(
Ef 5:22-33 )
1. Spiritualitas
Spiritualitas itu merupakan kata yang berasal
dari bahasa Latin, “spiritus” (spirit) yang berarti “roh”. Spiritualitas
itu maksudnya suatu dinamika, semangat, corak hidup spiritual, yaitu usaha yang
terus-menerus untuk mencari dan menjalani suatu pola hidup yang khas. Hidup
spiritualitas itu biasanya berakar dalam hidup beriman yang dibagikan, maka
spiritualitas ini memerlukan suatu komunitas, atau suatu persekutuan hidup. Dan
komunitas atau persekutuan hidup ini berpusat pada perjumpaan dengan Yang
Ilahi, pertemuan dengan Tuhan dalam sharing iman atau saling
membagi pengalaman rohani. Itulah kehidupan yang diwarnai dengan hidup
spiritual. Pada intinya, spiritualitas itu sama untuk setiap pribadi, yaitu: menjadikan
diri sebagai pribadi beriman, dengan hidup bersama dalam jalan dan rencana
Tuhan, agar dapat menjalankan corak hidup rohani atau hidup spiritual yang khas
dalam kehidupan sehari-hari.
2. Perkawinan atau
Pernikahan
Pada umumnya perkawinan itu merupakan
perpaduan bukan pemisahan. Perpaduan apa? Perpaduan dua pribadi: pria dan
wanita, yang masing-masing membawa-serta keunikan, watak dan sifat yang tidak
sama, namun mereka dipanggil untuk hidup menyatu dan membentuk “communio”,
yang hidup saling mencintai dan diutus untuk hidup saling melengkapi,
menguduskan serta menyelamatkan. Apa itu mungkin? Mengapa tidak? Apakah
dasarnya? Asalkan kedua pribadi, pria dan wanita itu ada kesepakatan atau konsensus
dan mendasarkan niatnya dengan spiritualitas hidup saling mencintai!
Karena itu konsep alkitabiah mengenai perkawinan atau pernikahan: “Sebab
itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan
istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (Kej 2:24). Kemudian dalam perjanjian
baru, Rasul Paulus menegaskan kembali: “Sebab itu laki-laki akan
meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya
itu menjadi satu daging” (Ef 5:31).
Sedangkan perkawinan atau pernikahan
Kristiani yang bersifat sakramental melibatkan lebih dari dua pribadi, pria dan
wanita. Sebagai anggota Pasamuan Suci atau Gereja Kudus Tuhan Yesus
Kristus, maka di dalam perkawinan Kristiani dihadirkan juga di dalamnya Pribadi
ketiga, yaitu Yesus Kristus. Dialah yang akan memberi makna, membimbing,
mempersatukan dan mengarahkan ralasi dan hidup suami-istri Kristiani.
Perkawinan mereka itu diangkat ke martabat Sakramental. Sakramen itulah
yang menjadikan tanda dan bukti kehadiran Tuhan. Karenanya dalam perkawinan
Kristiani, tanda dan bukti kehadiran Tuhan Yesus yang mencintai Umat-Nya itu
diwujud-nyatakan secara khusus, bukan dengan benda, melainkan dua pribadi, pria
dan wanita yang saling mencintai. Maka dari itu, perkawinan Kristiani selayaknya
berlangsung dalam Liturgi Sakramen Perkawinan.
3. Liturgi Sakramen
Perkawinan
Dalam liturgi sakramen perkawinan itu kedua
pengantin akan mengucapkan janji prasetia (sumpah), yaitu perjanjian yang
dibuat di hadapan Allah, imam dan para saksi serta disaksikan juga oleh umat
Allah yang hadir. Mereka itu “dipersatukan oleh Allah” karena mendasari dengan
cinta, saling menerimakan sakramen perkawinan, maka Allah menetapkan
manusia-pria untuk menjadi tanda cinta-Nya bagi sang istri; dan Allah
mengangkat manusia-wanita untuk menjadi tanda cinta-Nya bagi sang suami.
Jaminan semacam inilah yang akan membuat mereka saling bertahan; bukan karena
kekuatan hukum atau takut akan sanksi jika melanggar, melainkan karena perjanjian,
kesepakatan atau konsensus dari dua pribadi yang dilalakukannya di hadapan
Allah itu, tanpa syarat.
4. Konsekuensi bagi
Suami-Istri
Suami-istri menjadi tanda kehadiran kasih
Allah satu sama lain. Mereka berdua pada hakikatnya menjadi satu. Lambang dan
perwujudan kasih setia Yesus Kristus kepada Gereja-Nya (bdk. Ef 5:24-28).
Mereka itu membentuk keluarga, yaitu persekutuan hidup antara
pria dan wanita yang membentuk komunitas antar pribadi berdasarkan cintakasih
dan konsensus. Konsekuensinya, persekutuan hidup perkawinan itu menyatukan
pria dan wanita dalam kesatuan lahir dan batin, dan mencakup aspek hidup raga,
jiwa dan spiritual. Inilah komitmen yang mereka bangun berdasarkan kebebasan.
Hal inilah yang memungkinkan pria dan wanita dapat saling menerima dan
memperkaya satu sama lain.
Hidup suami-istri Kristiani yang mendasarkan
persekutuan hidupnya dalam sakramen baptis dipanggil dan diutus untuk mengambil
bagian dalam Tritugas Yesus Kristus, yaitu semakin didorong untuk
menampilkan diri sebagai Nabi (mengajar, mewartakan, memberikan kesaksian);
Imam (saling menguduskan jiwa, mendekatkan hati dan hidupnya kepada
Tuhan); dan Raja (saling melayani dan mengabdikan diri kedalam
dan keluar dari pasangannya).
Bagaimana kita mesti mewujudkan dan
mengembangkan spiritualitas perkawinan dalam persekutuan kasih saumi-istri?
Pasutri dipanggil dan diutus menyatakan
bagaimana Yesus mencintai Gereja-Nya: hidup bergembira, saling
menyukai satu sama lain, saling merawat kesetiaan, saling
mengampuni, saling menjadikan dirinya pendengar yang baik,
saling memberikan pertolongan yang menyelamatkan dan menguduskan
satu sama lain, agar dapat menemukan jadi diri mereka dalam satu sama lain.
5. Keluarga Dibangun Atas
Dasar Saling Mecintai
Keluarga, didasarkan pada perkawinan,
merupakan suatu persekutuan hidup dan cinta kasih (suatu persekutuan ‘seluruh
hidup’ menurut Hukum Gereja, Kitab Hukum Kanonik can. 1055), mempunyai ‘elemen
yang tidak dapat dihilangkan’ yang ‘membuat perkawinan’, yakni pertukaran
konsensus atau kesepakatan ‘nikah’, dan memberntuk suatu persekutuan seluruh
hidup (bdk. KGK no.1601), merupakan pemberian diri di dalam Tuhan
dan melalui Tuhan. Pemberian diri yang
diungkapkan dalam konsensus itu bersifat “pribadi dan tidak
dapat ditarik kembali” yang membentuk perjanjian perkawinan, memuat
semangat dan kualitas untuk saling ‘memberikan diri’ secara total dan definitif
(KGK 2364). Pemberian diri secara total membawa pada kebutuhan akan makna dan
arti kesetiaan suami-istri. Hal ini merupakan bentuk konkret pemberian diri dan
hidup yang melibatkan dan membebaskan. Cinta kasih yang mendasari dan menjadi
sumber hidup persekutuannya itu mengkondisikan orang tidak merasa takut dan
kuatir akan pasangannya; dan tidak akan secara bebas satu sama lain
mengkhianati makna dan arti persekutuannya itu.
Dalam Kejadian 2:24 ditekankan: “Sebab itu seorang laki-laki akan
meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya
menjadi satu daging.” Sikap
“saling memberikan dirinya”, pasangan suami-istri, “menjadi ‘una caro’,
satu daging”, yaitu merupakan suatu “communio personarum”
(persekutuan pribadi-pribadi) dalam kesatuan hidup jiwa, raga dan rohani.
Mereka saling memberikan diri dengan daya kekuatan jiwa, raga dan rohani
melalui dan dalam cinta kasih di mana seks dialami dan dihayati sebagai suatu
bahasa yang mengungkapkan ‘pemberian diri’.
Sebagaimana dikatakan Paus Yohanes Paulus II
dalam seruan apostolik “Familiaris Cosortio”, atau ensikliknya,
bahwa seks adalah suatu sarana dan tanda pemberian diri timbal-balik. “Oleh
karena itu seksualitas, yang bagi pria maupun wanita merupakan upaya atau
sarana untuk saling menyerahkan diri melalui tindakan yang khas dan eksklusif
bagi suami-istri, sama sekali tidak melulu bersifat biologis, tetapi menyangkut
kenyataan pribadi manusiawi juga. Seksualitas itu hanya diwujudkan secara
sungguh manusiawi, apabila merupakan unsur integral dalam cinta kasih
suami-istri, yang saling menyerahkan diri sepenuhnya seumur hidup (FC 11).
Kemudian Katekismus Gereja Katolik
mengajarkan: “Gereja memandang kesepakatan pria dan wanita sebagai unsur yang
mutlak perlu untuk perjanjian perkawinan. Sebab, kalau kesepakatan tidak ada,
perkawinan tidak jadi (KGK no.1626). Lantas pada KGK no.1627 dikatakan:
“Kesepakatan itu merupakan ‘tindakan manusiawi’, yakni saling menyerahkan diri
dan saling menerima antara suami dan istri” (GS 48,1; bdk. KHK no. 1057 $2).
Saling diucapkan oleh mempelai pria: “Saya menerima engkau sebagai istri
saya.”; demikian mempelai wanita itu mengatakan: “Saya menerima engkau
sebagai suami saya.” Kesepakatan
yang memikat para mempelai satu sama lain itu diwujudkan demikian, bahwa
‘keduanya menjadi satu daging’. (Kej 2:24; Mrk 10:8; Ef 5:31).
6. Anak itu Merupakan
Karunia Perkawinan
Santo Agustinus pernah mengajarkan: “Di
antara kebaikan (harta kekayaan) perkawinan, keturunan mendapat
tempat yang utama. Kitab Kejadian juga mengungkapkan, Allah memberkati mereka,
lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranak-cuculah dan bertambah banyak” (Kej
1:28). “Menurut kodratnya
lembaga perkawinan dan cinta suami-istri terarah pada kelahiran, atau keturunan
dan pendidikan, dan sebagai puncaknya bagaikan dimahkotai olehnya” (Konstitusi
Pastoral Gaudium et Spes tentang Gereja dalam Dunia Modern 48,1).
“Memang anak-anak merupakan karunia
perkawinan yang paling luhur, dan besar sekali artinya bagi kesejahteraan
orangtua. Allah sendiri bersabda: ‘Tidak baiklah manusia hidup seorang diri’
(Kej 2:18); dan lagi: ‘Dia
… yang sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan’ (Mat 19:4), Ia
bermaksud mengijinkan manusia, untuk secara khusus ikut serta dalam karya
penciptaan-Nya sendiri, dan memberkati pria maupun wanita sambil berfirman: ‘Beranak-cuculah
dan bertambah banyaklah!’ (Kej 1:28). Oleh karena itu pengembangan kasih
suami-istri yang sejati, begitu pula seluruh tata hidup berkeluarga yang
bertumpu padanya, tanpa memandang kalah penting tujuan-tujuan lain dari
perkawinan; bertujuan supaya suami-istri bersedia untuk penuh keberanian
bekerja sama dengan semangat cinta kasih Sang Pencipta dan Penyelamat, yang
melalui pasangan suami-istri makin memperluas dan memperkaya keluarga-Nya” (GS
5,1).
Kesuburan cinta kasih suami-istri nampak pula
di dalam buah-buah kehidupan moral dan rohani, yang orangtua lanjutkan kepada anak-anaknya
melalui pendidikan. Orangtua adalah pendidik yang pertama dan terpenting
(Pernyataan Konsili “Gravissimum Educationis” tentang Pendidikan
Kristen 3). Dalam arti ini, bahwa tugas mendasar dari perkawinan dan keluarga
terletak dalam pengabdian kehidupan (bdk. FC 28).
Dalam keluarga, ‘kenisah kehidupan’, Ensiklik
Evangelium Vitae menunjukkan bahwa di lingkungan umat kehidupan, keluarga
itu mempunyai tanggung-jawab yang serba menentukan. Tanggung-jawab keluarga itu
berakar dalam hakikatnya sendiri sebagai persekutuan hidup dan cinta kasih
berdasarkan pernikahan…” Oleh karena itu
peranan keluarga dalam membangun kebudayaan hidup serba menentukan dan tidak
tergantikan. Sebagai ‘Gereja Rumah Tangga’, keluarga dipanggil untuk
mewartakan, merayakan dan melayani Injil Kehidupan. Itulah tanggung-jawab yang
pertama-tama menyangkut pasangan suami-istri, yang dipanggil menjadi pemberi
hidup, berdasarkan kesadaran yang makin besar akan makna prokreasi sebagai
peristiwa unik, yang dengan jelas menampilkan, bahwa hidup manusiawi itu
anugerah, yang diterima untuk dilimpahkan sebagai pemberian” (EV 92: Keluarga
mewartakan Injil Kehidupan melalui membesarkan anak); merayakan Injil Kehidupan
melalui doa, karya dan pelayanan harian, yang dinyatakan dalam semangat
solidaritas dan cinta kasih (EV 93).
Sedangkan suami-istri yang tidak dikarunia
Tuhan dengan anak-anak, masih dapat menjalankan kehidupan berkeluarga yang
sangat berarti secara manusiawi. Perkawinan mereka itu dapat menghasilkan dan
memancarkan cinta kasih, kerelaan untuk membantu dan semangat berkorban demi
ksejahteraan bersama.
7. Kesimpulan
Rasul Paulus berkata: “Hai istri, tunduklah
kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepada istri sama
seperti Kristus adalah kepala Jemaat” (Ef 5:22). “Hai, suami, kasihilah istrimu sebagaimana Kristus
telah mengasihi Jemaat, dan telah menyerahkan diri-Nya baginya untuk
menguduskannya” (Ef 5:25).
“Rahasia ini besar; tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan
Jemaat” (Ef 5:32).
Sakramen perkawinan adalah tanda untuk
perjanjian antara Kristus dan Gereja. Ia memberi rahmat kepada suami-istri,
agar saling mencintai dengan kasih sayang, yang dengannya Kristus mencintai
Gereja. Demikian rahmat sakramen menyempurnakan cinta manusiawi suami-istri,
meneguhkan kestuan yang tak terhapuskan dan menguduskan mereka di sepanjang
peziarahan hidup ini menuju hidup abadi.
Perkawinan itu berakar dalam kesepakatan dan
kesetiaan satu sama lain, dan memiliki sifat kesatuan, tak terceraikan, dan
kesediaan untuk kesuburan adalah sangat hakiki bagi perkawinan. Dengan demikian
poligami tidak sesuai dengan kesatuan perkawinan; dan perceraian itu memisahkan
apa yang Allah telah persatukan; serta penolakan untuk menjadi subur, menghapus
dari hidup perkawinan, “anugerah yang paling utama’ anak (bdk. Gaudium et
Spes 50,1).
Akhirnya marilah kita membuat suatu komitmen
untuk membangun Keluarga yang BERTAMAN HADI, untuk menunjukkan bahwa kita tetap
setia dalam panggilan dan tugas perutusan sebagai suami-istri, yang
mengharapkan mampu menciptakan kebahagiaan lahir dan batin. Amin.